Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
| Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi |Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung |Kata Perenungan |


MAHAGURU HUMANIS ITU TELAH PERGI

Sabtu, 4 Juni 2005, pukul 10 pagi, Master Yin Shun, seorang tokoh Buddhis yang sangat dihormati, dan juga guru dari Master Cheng Yen, yang baru saja melewati usianya yang ke-101 (menurut penanggalan Imlek), telah wafat di RS. Tzu Chi Hua Lien. Selama hidupnya, beliau dengan gigih membangun komunitas Buddhis yang peduli pada penderitaan masyarakat, tidak hanya berkutat pada soal ritual semata. Bhiksu yang menekankan pentingnya sisi ajaran Buddha yang humanis (Humanist Buddhism) ini berperan besar dalam proses berdirinya Tzu Chi.

Perjalanan Mencari Kebenaran
Master Yin Shun adalah sosok yang humanis, penuh cinta kasih dan kepedulian. Terlahir prematur pada 12 Maret 1906, di desa kecil Propinsi Zhejiang, dekat Shanghai, Cina, Chang Lu-ching (nama kecil beliau) sudah menderita penyakit kritis pada usia sebelas hari. Siapa yang mengira bayi lemah ini kelak menjadi seorang bhiksu panutan terkemuka? Sejak sekolah, Lu-ching menunjukkan bakat di bidang penulisan. Setelah tamat sekolah menengah, Lu-ching didorong ayahnya untuk melanjutkan pendidikan di bidang medis.

Pendidikan tinggi telah membawa Lu-ching ke dalam pencarian spiritual. Saat menempuh pendidikan medisnya, Lu-ching larut dalam ketertarikan membaca buku-buku mengenai ketidakkekalan. Beliau mendalami ajaran Tao dan Konfusius. Ajaran Kristiani yang mengajarkan keyakinan, harapan, dan cinta kemudian menjadi pelita berikut baginya. Dua tahun menjalani, namun ia belum menemukan pegangan yang kokoh.

Hingga saat usia dua puluh tahun, ia menemukan kata-kata ‘ajaran Buddha’. Ia merasakan suatu kekuatan di dalam hatinya setelah membaca ajaran-ajaran itu. Sejak saat itu, ia semakin giat mencari buku-buku dan mendalami Buddhisme. Lu-ching tahu ia telah menemukan cara untuk mengisi batinnya yang ia rasakan kosong selama ini.

Tahun 1928, ibunda Lu-ching meninggal dunia. Ayahnya menyusul tak lama kemudian. Lu-ching merasa sangat terpukul. Di tengah perenungannya, ia kemudian bertekad menjadi bhiksu untuk mencapai kedamaian batin. Sebuah pertanyaan besar mengganggunya “Mengapa terjadi jurang perbedaan yang begitu besar antara teori ajaran Buddha yang dibacanya di buku-buku dengan praktek yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari?”

Lika-liku Mempelajari Buddhisme
“Sekolah Bodhi Buddhis menerima siswa baru!” Iklan di surat kabar lokal ini menarik perhatian Lu-ching pada Juni 1930. Sebuah karangan menjadi syarat untuk masuk sekolah ini. Karangan Lu-ching yang berjudul Ajaran Buddha Ditujukan Untuk Melenyapkan Penderitaan dan Mendatangkan Kebahagiaan ditanggapi oleh pihak sekolah dengan surat bertuliskan: “Anda lulus tes masuk dan diterima menjadi murid sekolah kami.” Namun, tidak ada pemberitahuan lanjutan dari sekolah tersebut. Dengan tekad bulat, di usia 25 tahun, untuk pertama kalinya, Lu-ching meninggalkan rumah untuk menggapai cita-citanya: meninggalkan kehidupan duniawi! Setelah menempuh perjalanan dari Shanghai, Lu-ching tiba di Beijing. Di sana, ia menemukan bahwa sekolah itu sudah ditutup akibat konflik. Hal ini tidak membuatnya putus asa. Akhirnya ia menemukan Vihara Fu Chun yang dipimpin seorang bhiksu yang mau menerimanya menjadi murid. Tanggal 11 Oktober 1930, Lu-ching ditahbiskan menjadi seorang bhiksu oleh gurunya, Bhiksu Ching Nen, dan diberi nama Yin Shun.

Pada saat bersamaan, agama Buddha terus melemah di Cina, karena agama Buddha tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Kehidupan masyarakat terabaikan oleh para ulama Buddhis. Muncul pendapat agama Buddha tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini menjadikan Master Yin Shun merasa sanagat khawatir.

Tekad yang Bulat
Perang saudara di Cina tahun 1949 membuat beliau pindah ke Hongkong, dan 3 tahun kemudian, beliau ke Taiwan dan menetap selamanya di sana. Di Taiwan, Master Yin Shun melihat keadaan yang serupa, komunitas Buddhis hanya memfokuskan diri pada ritual. Master Yin Shun pun mendirikan balai pendidikan Buddhis pertama di Taiwan – Hui Jih Lecture Hall. Hasilnya, umat Buddha mulai mempraktekkan ajaran Buddha dengan semestinya.

Di tengah usahanya yang gigih, Master Yin Shun kerap menghadapi kondisi kesehatan yang buruk. Tahun 1954, paru-parunya menderita penyakit. Namun hal itu tidak menghalanginya menyebarkan ajaran Buddha yang humanis dan peduli penderitaan. Tahun 1999, beliau kembali menderita penyakit yang hampir merenggut jiwanya. Dr. Lin, dokter yang merawatnya, mengatakan bahwa beliau amat kuat dan sabar menghadapi penyakit yang menggerogotinya. Beliau tetap tersenyum menghadapi para tamu yang menjenguknya. Hal ini amat sulit dilakukan jika seseorang tidak melatih batinnya dengan baik. Rasa sakitnya demikian hebat tapi beliau tidak mau menampakkannya di depan orang banyak.

Dalam bukunya, Authentic Human Buddhism, Master Yin Shun menggambarkan dirinya sebagai berikut:
“Benar, bahwa saya telah banyak melakukan penelitian terhadap ajaran Buddha, dan saya telah banyak menulis dan membabarkan ajaran Buddha. Namun, hal itu bukan berarti saya adalah orang yang sektarian, seorang ahli teori, ataupun seorang intelektual Buddhis. Saya hanya menerima dan membuat teori-teori untuk membuktikan ajaran guru saya, Master Tai Hsu, yang mengajarkan bahwa agama Buddha bukanlah mengenai pemujaan terhadap dewa dan setan, tapi lebih kepada suatu upaya untuk mempraktekkan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun tubuh ini lapuk oleh usia, tapi saya akan terus berbahagia dalam ajaran Buddha. Saya bertekad untuk terus dilahirkan kembali sebagai penyampai ajaran Buddha.”

“Agama Buddha yang humanis adalah inti ajaran Buddha,” Master Yin Shun menegaskan. Upaya beliau mengembangkan pemikiran ini telah membuahkan hasil. Beberapa muridnya yang terkemuka tersebar di berbagai belahan dunia: Master Cheng Yen yang mendirikan Tzu Chi, Master Chuan Tao yang membangkitkan kesadaran terhadap pelestarian lingkungan dan Master Chao Hui yang memperjuangkan integritas makhluk hidup. Selamat jalan Master, semangat humanismu akan tetap menyala. • Agus H/dari berbagai sumber

 

 

 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id